Antara Orang Tua dan Keegoisanku
Kenalkan aku lulusan Hubungan Internasional, sarjanaku Ilmu Politik, alumnus dari Universitas Muhammadiyah Malang. Kalau ditanya apa cita-citaku tentu aku akan menjawab menjadi diplomat bekerja di kedutaan atau konsulat jenderal. Aku wisuda oktober 2015, dan balik ke kampung (Labuhanbatu selatan) bulan November awalnya karena orang tua akan berangkat ke Mekkah, niatnya mau balik lagi ke Jawa mengejar mimpi yg telah tertuliskan di imajinasi.
Sebulan, dua bulan, tiga bulan dan berbulan bulan kemudian aku tak kunjung memesan tiket pesawat untuk kembali ke Jawa, nyantol di labusel karena terlalu cinta, bukan cinta labusel pastinya, aku terlalu cinta dengan orangtuaku sehingga memutuskan tetap stay di labusel. Hingga aku memutuskan untuk melempar lamaran kerja kesana kemari via online dari sudut kamar, sebulan tak juga datang panggilan kerja yg diharapkan, alhasil lupa informasi darimana intinya aku buat lamaran ke kantor dinas pasar yg berlokasi di Kota Pinang, selang beberapa hari aku dipanggil dan diminta langsung bekerja dikantor tersebut.
Hatiku seolah menggerutu, menolak secara batin dengan pekerjaan yang kujalanani, hingga kuputuskan untuk resign dan kembali menjadi pengangguran. Hingga suatu hari, dibulan yang sama Allah seperti sedang menguji, mamak (panggilanku kepada ibu) kembali sakit yang memang sudah sakit sejak tahun 2010, mamak dibawa kerumah sakit dengan perawatan intensive karena keadaannya yang sudah tak berdaya bahkan untuk menggerakkan kepala dan jarinya ia tak kuasa. Tapi, disaat keadaan seperti itu seluruh panggilan dari perusahaan yang aku lamar datang silih berganti hanya beda satu atau dua hari saja, salah satunya yang paling aku sesali adalah aku harus melepas kesempatan dari kementerian luar negeri karena itu adalah mimpiku, walaupun sudah pernah merasakan kerja disana tapi harapan kedua untuk bisa kesana lagi masih sangat besar, selain itu aku juga harus mengabaikan panggilan dari Pt. Angkasa Pura, Indonesia Mengajar, Pt. EPSON, Pt. RAMALINDO, Pt. Evarina Etaham, dan kalau dihitung ada lebih 10 panggilan dari berbagai macam perusahaan.
Saat itu aku sangat bingung, galau, pengen nangis, jeritt dan streesssss.. karena orang tuaku yang sedang terbaring dirumah sakit sangat tidak mungkin untuk aku tinggalkan sementara semua harapanku sudah didepan mata. Aku tau hidup ini pilihan, hidup harus ada yang diprioritaskan, dan aku yakin sangat yakin jika pilihanku memilih orangtuaku dan memprioritaskan mereka itu sudah sangat benar. Aku terus menemani mamak dalam perjalanannya berobat, mendampinginya, memberikan cerita masa depan indah bersamanya, sampai mamak sehat dan bisa jalan lagi.
Telponku berdering tepat di hari pertama lebaran, aku tau ini pasti dari orang yang ingin mengucapkan minal aidhin walfaidzin, meski no nya asing aku tetap mengangkatnya. Tidak seperti dugaanku, dihari pertama lebaran aku dipanggil ke Jakarta langsung kerja dengan gaji diatas 5 juta, abang sepupuku ternyata diam-diam mencarikanku kerjaan di Jakarta. Dengan perasaan bahagia kuutarakan kabar ini ke orangtuaku dan yakin aku akan berangkat ke Jakarta, tapi uang bukanlah segalanya dengan wajah sedih seolah tak ingin aku pergi jauh lagi, aku tau ada raut kecewa yang terpancar dari wajah mereka. Dan untuk kesekian kalinya aku harus merelakan kesempatan itu.
Seminggu kemudian, aku dapat panggilan untuk mengajar disalah satu pesantren yang lokasinya tidak jauh dari rumah, aku berfikir panggilan ini kusimpan saja untukku tanpa memberitahu orangtuaku, karena aku sadar itu bukan bagian dari mimpiku, tapi aku tak mampu sampai akhirnya kuberitahu tentang ini, tanpa berfikir panjang, tidak seperti sebelum sebelumnya dengan wajah sumringah, mereka memintaku untuk ambil kerjaan itu, yang terpenting bagi mereka kerjaku berkah dan yang pasti aku dekat dari rumah, meski aku tahu ini jauh dari cita-citaku untuk jadi diplomat. ALLAH lah yang tahu perasaanku, tapi aku percaya selama kita memuliakan orang tua maka akan ada jalan kemudahan untuk urusan urusan kita selanjutnya. Tidak pernah terbayang aku harus kembali menjadi santri, meski dengan status yang berbeda, bernostalgia beberapa tahun yang lalu, dan semua kujalani dengan bahagia, agar menjadi pahala dan berkah. Aku bangga pernah menjadi santri dan sekarang bangga bisa berbagi ilmu dengan santri. Hingga aku sadar, dalam jiwaku ada jiwa santri. Dari santri kembali menjadi santri
Sebulan, dua bulan, tiga bulan dan berbulan bulan kemudian aku tak kunjung memesan tiket pesawat untuk kembali ke Jawa, nyantol di labusel karena terlalu cinta, bukan cinta labusel pastinya, aku terlalu cinta dengan orangtuaku sehingga memutuskan tetap stay di labusel. Hingga aku memutuskan untuk melempar lamaran kerja kesana kemari via online dari sudut kamar, sebulan tak juga datang panggilan kerja yg diharapkan, alhasil lupa informasi darimana intinya aku buat lamaran ke kantor dinas pasar yg berlokasi di Kota Pinang, selang beberapa hari aku dipanggil dan diminta langsung bekerja dikantor tersebut.
Hatiku seolah menggerutu, menolak secara batin dengan pekerjaan yang kujalanani, hingga kuputuskan untuk resign dan kembali menjadi pengangguran. Hingga suatu hari, dibulan yang sama Allah seperti sedang menguji, mamak (panggilanku kepada ibu) kembali sakit yang memang sudah sakit sejak tahun 2010, mamak dibawa kerumah sakit dengan perawatan intensive karena keadaannya yang sudah tak berdaya bahkan untuk menggerakkan kepala dan jarinya ia tak kuasa. Tapi, disaat keadaan seperti itu seluruh panggilan dari perusahaan yang aku lamar datang silih berganti hanya beda satu atau dua hari saja, salah satunya yang paling aku sesali adalah aku harus melepas kesempatan dari kementerian luar negeri karena itu adalah mimpiku, walaupun sudah pernah merasakan kerja disana tapi harapan kedua untuk bisa kesana lagi masih sangat besar, selain itu aku juga harus mengabaikan panggilan dari Pt. Angkasa Pura, Indonesia Mengajar, Pt. EPSON, Pt. RAMALINDO, Pt. Evarina Etaham, dan kalau dihitung ada lebih 10 panggilan dari berbagai macam perusahaan.
Saat itu aku sangat bingung, galau, pengen nangis, jeritt dan streesssss.. karena orang tuaku yang sedang terbaring dirumah sakit sangat tidak mungkin untuk aku tinggalkan sementara semua harapanku sudah didepan mata. Aku tau hidup ini pilihan, hidup harus ada yang diprioritaskan, dan aku yakin sangat yakin jika pilihanku memilih orangtuaku dan memprioritaskan mereka itu sudah sangat benar. Aku terus menemani mamak dalam perjalanannya berobat, mendampinginya, memberikan cerita masa depan indah bersamanya, sampai mamak sehat dan bisa jalan lagi.
Telponku berdering tepat di hari pertama lebaran, aku tau ini pasti dari orang yang ingin mengucapkan minal aidhin walfaidzin, meski no nya asing aku tetap mengangkatnya. Tidak seperti dugaanku, dihari pertama lebaran aku dipanggil ke Jakarta langsung kerja dengan gaji diatas 5 juta, abang sepupuku ternyata diam-diam mencarikanku kerjaan di Jakarta. Dengan perasaan bahagia kuutarakan kabar ini ke orangtuaku dan yakin aku akan berangkat ke Jakarta, tapi uang bukanlah segalanya dengan wajah sedih seolah tak ingin aku pergi jauh lagi, aku tau ada raut kecewa yang terpancar dari wajah mereka. Dan untuk kesekian kalinya aku harus merelakan kesempatan itu.
Seminggu kemudian, aku dapat panggilan untuk mengajar disalah satu pesantren yang lokasinya tidak jauh dari rumah, aku berfikir panggilan ini kusimpan saja untukku tanpa memberitahu orangtuaku, karena aku sadar itu bukan bagian dari mimpiku, tapi aku tak mampu sampai akhirnya kuberitahu tentang ini, tanpa berfikir panjang, tidak seperti sebelum sebelumnya dengan wajah sumringah, mereka memintaku untuk ambil kerjaan itu, yang terpenting bagi mereka kerjaku berkah dan yang pasti aku dekat dari rumah, meski aku tahu ini jauh dari cita-citaku untuk jadi diplomat. ALLAH lah yang tahu perasaanku, tapi aku percaya selama kita memuliakan orang tua maka akan ada jalan kemudahan untuk urusan urusan kita selanjutnya. Tidak pernah terbayang aku harus kembali menjadi santri, meski dengan status yang berbeda, bernostalgia beberapa tahun yang lalu, dan semua kujalani dengan bahagia, agar menjadi pahala dan berkah. Aku bangga pernah menjadi santri dan sekarang bangga bisa berbagi ilmu dengan santri. Hingga aku sadar, dalam jiwaku ada jiwa santri. Dari santri kembali menjadi santri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar