Hubungan Antara Durasi Belajar Santri dengan Prestasi
Sudah menjadi rahasia umum jika kehidupan pesantren memiliki waktu yang sangat padat bahkan harus kejar-kejaran dengan waktu, hidup diatur dengan jaros atau bel, punya waktu 5 menit untuk tidur adalah kemerdekaan yang sangat berarti. Hal ini disebabkan karena pesantren memiliki banyak kegiatan bukan hanya dari segi pelajaran seperti yang dijelaskan sebelumnya, pesantren juga belajar IPA, Matematik, Biologi dll ditambah dengan pelajaran agama seperti nahwu, sorof dll sehingga membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk mengkhatamkan semua pelajaran itu, oleh karena itu pesantren harus terbiasa dengan belajar dari pagi hingga sore bahkan dilanjutkan di malam hari.
Dengan kurikulum yang padat dan kegiatan ibadah yang seabrek orang mengira anak pesantren menjadi sangat alim yang kerjaannya cuma belajar dan mengaji, padahal anak pesantren juga disibukkan dengan kegiatan-kegiatan lain yang sunnah diikuti oleh para santrinya seperti olimpiade group, jamiatul qiro, kelompok pidato, jurnalis santri, kegiatan olahraga, seni tari, musik dan lain sebagainya. Belum lagi kegiatan wajib baik di kelas ataupun asrama seperti menghafal Al-Quran (satu tahun satu jus), tahsinul lughoh, dan mengikuti kegiatan keorganisasian, aktivitas yang sebegini banyaknya harus bisa dikendalikan dengan seimbang, pelajaran yang harus dipahami, organisasi yang harus dijalankan, dan tuntutan ekstrakurikuler yang harus diamankan.
Dengan banyaknya kegiatan tersebut, apa output yang didapatkan oleh para santri?
Harapan besar dari pesantren adalah apa yang menjadi sunnah dan wajib di pesantren tentunya memiliki output yang sesuai dengan keinginan dan tujuan pesantren untuk mencerdaskan para santrinya, pesantren mewajibkan berbahasa (Arab dan Inggris) sebagai bahasa sehari-hari untuk membiasakan santri agar lancar berbahasa karena bahasa adalah mahkota pesantren, pesantren melatih santri public speaking yang dikenal dengan muhadharah, santri wajib berbicara dan berpidato agar santri mampu menjadi pemimpin dalam sebuah forum besar, pesantren mewajibkan berorganisasi agar santri mandiri dengan bekal-bekal yang telah diberi khususnya bekal berorganisasi yang dapat diimplemetasikan ketika terjun dimasyarakat nanti, santri di tuntut untuk mengikuti ekstrakurikuler agar tergali satu potensi dalam diri yang harus dicari sesuai dengan minat dan bakat yang ada di hati, santri dituntut untuk menghafal Al-Qur’an satu jus dalam setahun agar lulus menjadi alumni dan membawa pulang amalan Al-Quran dan menjadi generasi Qur’ani, santri diwajibkan memahami dan menghafal pelajaran agar bisa naik kelas kejenjang berikutnya yang lebih tinggi. Dengan tuntutan yang begitu banyak, mampukan santri menemukan jati diri?
Ini akan menjadi sebuah anomali ketika durasi belajar yang tinggi tidak berbanding lurus dengan prestasi, pesantren harus benar-benar memperhatikan mana yang lebih prioritas, ketika bahasa menjadi prioritas utama maka fokuslah pada bahasa yang ingin ditingkatkan, ketika Al-Quran menjadi tujuan akhir maka fokuslah pada hafalan Al-Quran, ketika yang menjadi prioritas olahraga atau akademik dan lainnya maka tentukan satu tujuan akhirnya, pesantren harus membranding dirinya dengan satu brand yang menjual dengan kemasan yang menarik.
Disinilah tugas besar pesantren khususnya pesantren modern, bagaimana mengkemas semua menjadi satu dan menyatukan semua menjadi mudah, dapat diterima serta diaplikasikan oleh santri sehingga semua yang dirasa baik dan diperlukan seperti wajib bahasa, hafiz qur’an, dan ekstrakurikuler lainnya harus dijalankan dipesanren ini dengan niat lillahi ta’ala untuk meningkatkan kecerdasan anak bangsa. Pesantren yakin dengan kesabaran para pendidiknya dan kegigihan dalam mengajar, anak-anak akan mampu menjalankan semua yang dianggap beban menjadi hal yang menyenangkan.
Jangan menjadi anomali dan menjadi pembenaran bahwa anak-anak tidak bisa fokus dalam menjalankan mana yang lebih didahulukan dengan banyaknya tuntutan yang diberikan, dan menjadi alibi yang mendasari kenapa anak-anak susah menjalankan semuanya dengan seimbang sehingga harus ada yang dikorbankan, satu hal yang perlu diingat bahwa tidak ada yang tidak mungkin, semua menjadi mungkin asal NIAT yang perlu ditata, bukan niat hanya untuk menggugurkan kewajiban setoran , niat yang penting hafalannya selesai, dan niat lainnya yang tidak dilandaskan pada keikhlasan untuk belajar, mulai sekarang rubahlah niat kita untuk belajar bukan diawalai kata “yang penting” dan “asalkan, tekunlah belajar dan jangan lupa berdoa maka yakinlah durasi waktu panjang dalam belajar dipesantren akan berbanding lurus dengan prestasi yang akan kamu dapatkan di kelas jika kalian sungguh-sungguh, karena pesantren tahu mana yang menjadi kebutuhan kalian para santri dan santriwatiya. Man jadda wajada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar