Selasa, 18 April 2017

Islam Cinta Damai, dan Menolak Kekerasan

ISLAM CINTA DAMAI, DAN MENOLAK KEKERASAN


“Jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui,” (QS at-Taubah [5]: 6). 
Tentu kita masih ingat dengan Geert Wilders, pembuat film dokumenter “fitna” yang banyak menuai kontroversi. Seperti diketahui, Wilder yang merupakan anggota parlemen Belanda ini sebelumnya telah membuat film “Fitna” yang berdurasi selama 14 menit dan dilihat oleh jutaan orang di seluruh dunia. Isi film itu berisi hujatan dan fitnahan terhadap Islam dan Wilders sendiri kemudian dikecam dan dikutuk oleh dunia internasional.
Dalam film ini, Wilders ingin membuktikan atau membenarkan ucapannya bahwa al-Quran adalah kitab yang mengajarkan kekerasan dan pembunuhan serta membenarkan aksi terror. Di antara ayat-ayat al-Quran yang dikutip Wilders dalam filmnya adalah surat al-Anfal ayat 60. “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya,” (QS al-Anfal [8]: 60).
Bukan Kitab Kekerasan
Senada dengan Geert Wilders, anggota sayap ultrakanan Parlemen Belanda, tuduhan yang sama juga datang dari kaum orientalis. Dengan merujuk pada ayat-ayat Quran yang menganjurkan untuk jihad dan berperang, misalnya firman Allah Swt berikut ini, “Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar,” (QS an-Nisa’ [4]: 74), para orientalis menyatakan bahwa Islam memerintahkan umatnya untuk mengadakan peperangan dan pembunuhan.  Pendek kata, mereka ingin menyatakan bahwa al-Qur’an adalah kitab yang menganjurkan aksi kekerasan dan terorisme.
Mereka, para orientalis, tidak membaca ayat berikutnya. Dalam ayat selanjutnya, ayat 75 dari surat an-Nisa’, dijelaskan bahwa tujuan dari perang tersebut adalah membela kaum yang didzalimi atau ditindas. Allah Swt berfirman, “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa, ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!’,” (QS an-Nisa’ [4]: 75).
Perlu diketahui bahwa perdamaian bukan hanya tidak ada konflik, tapi juga terciptanya keadilan. Dalam rangka membumikan keadilan inilah Islam mewajibkan umatnya untuk selalu berjuang dan membela orang yang didzalimi ditindas. Sungguh tidak masuk akal jika kita—atas nama perdamaian, berpangku tangan saat melihat kedzaliman dan penindasan. Saat kita diam melihat penindasan manusia atas manusia lainnya berarti secara tidak langsung kita mendukung hal tersebut.
Dalam konteks membela mereka yang tertindas dan terdzalimi inilah Islam, tidak hanya menganjurkan, tapi mewajibkan umatnya membela dan berjuang bersama mereka. Dalam Islam, jihad dan perang ditujukan kepada mereka yang menginjak-injak hak asasi manusia (HAM). Tujuannya adalah agar perdamaian dan keadilan terwujud di muka bumi.
Tentu saja saja perang bukanlah jalan satu-satunya dalam rangka mewujudkan mega-proyek ini. Menurut Islam, perang adalah jalan terakhir. Saat dialog, negosiasi, rekonsiliasi, argumentasi dan tekanan moral tidak menuai hasil, maka perang merupakan “jurus pamungkas” untuk membebaskan laki-laki, wanita dan anak-anak yang tidak berdaya dari kelaliman.

Agama Perdamaian.
Tudingan bahwa Islam, dan juga al-Qur’an, sebagai motor penggerak aksi kekerasan dan teror semakin nyaring terdengar pasca penyerangan terhadap WTC delapan tahun silam. Tidak hanya para ulama dari pelbagai belahan bumi yang membantah bahwa Islam adalah agama teror, John L. Esposito pun angkat bicara. Ia mengatakan bahwa tidak tepat menganggap Islam sebagai agama yang menganjurkan melakukan aksi kekerasan.
John L. Esposito adalah Guru Besar untuk bidang Agama dan Hubungan Internasional, serta Guru Besar untuk bidang Studi Islam di Universitas Georgetown, Amerika Serikat. John L. Esposito juga tercatat sebagai founding director Prince Alwaleed bin Talal Center for Muslim-Christian Understanding di Walsh School of Foreign Service. Pernah menjabat sebagai presiden Middle East Studies Association of North America dan American Council for the Study of Islamic Societies. Pun, konsultan bagi pemerintah berbagai negara dan perusahaan-perusahaan multinasional. Kini ia tinggal di Washington DC, bersama isterinya, Jeanette P. Esposito, Ph.D.
Dalam sebuah artikel yang berjudul Islam and Violence (Islam dan Kekerasan) (lihat,http://www.commongroundnews.org), Esposito membantah keras mengaitkan Islam dengan dengan aksi teror. Ia mengatakan, “The Islamic tradition places limits on the use of violence and rejects terrorism, hijackings and hostage taking” (tradisi ke-Islam-an menetapkan batas-batas penggunaan kekerasan dan menolak terorisme, pembajakan dan penyanderaan).
Menurut John L. Esposito, Islam, seperti semua agama dunia, tidak mendukung aksi kekerasan secara membabi buta. Al-Qur’an tidak mendorong atau membiarkan terorisme dilakukan. Ia juga mengatakan bahwa dalam al-Qur’an umat Muslim selalu diingatkan untuk menjadi orang yang pemaaf dan adil. Namun, Islam memang memperbolehkan, pada saat-saat dibutuhkan, umat Muslim membela diri dan keluarga, agama, dan masyarakat mereka dari serangan.
Esposito menegaskan bahwa secara garis besar, al-Qur’an menjadikan perdamaian sebagai norma kehidupan, bukan kekerasan dan peperangan. “Qur’anic verses also underscore that peace, not violence and warfare, is the norm. Permission to fight the enemy is balanced by a strong mandate for making peace” (ayat-ayat al-Qur’an juga menggarisbawahi bahwa perdamaian, bukan kekerasan dan peperangan, adalah norma yang berlaku. Ijin untuk melawan musuh diseimbangkan oleh mandat yang kuat untuk menciptakan perdamaian).
Dalam artikelnya, Esposito juga menyinggung “ayat-ayat saif” (sword verses/ayat-ayat pedang). Menurut Esposito, ayat-ayat saif ini diputarbalikkan maknanya dan dipahami secara terpisah, tidak dikaitkan dengan ayat selanjutnya. Ia mencontohkan firman Allah Swt berikut ini, “Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian,” (QS at-Taubah [9]: 5).
Ayat ini, kata Esposito, dikutip secara terpisah dan tidak dilanjutkan dengan memahami ayat selanjutnya yang memerintahkan umat Islam untuk melindungi non-muslim yang datang meminta perlindungan kepada mereka. “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui,” (QS at-Taubah [5]: 6).
Di akhir tulisannya, John L. Esposito, mengatakan bahwa kekerasan bukan hanya monopoli umat Islam, tapi juga terjadi pada umat lain. Ia mengatakan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh penganut agama, entah itu Islam, Kristen, Hindu, dan lain sebagainya, disebabkan teologi ekslusif yang anti kemajemukan dan lemah lemah dalam hal toleransi. Karena itu, tulis Esposito, semua umat beragama memiliki tugas bersama, yakni mengatasi teologi-teologi eksklusif yang anti kemajemukan dan lemah dalam hal toleransi, demi terciptanya kehidupan yang aman dan damai. Wallahu a’lam bis shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Implementasi Trilogi Nusa Putra

 Assalamu'alaikum Wr. Wb. Haiii... perkenalkan nama saya Raida Namira Aulia, salah satu mahasiswi program studi Pendidikan Guru Sekolah ...